FITRA NTB Dorong PPATK dan KPK Telusuri Transaksi Mencurigakan di NTB


Desember 22, 2017

HarianNusa.com, Mataram – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melacak adanya transaksi mencurigakan di NTB dalam rentang waktu satu tahun terakhir ini. Transaksi keuangan yang berkaitan dengan tindak pidana diungkapkan dalam laporan akhir tahun PPATK di Jakarta.

PPATK menemukan transaksi yang diduga untuk menyamarkan uang hasil kejahatan melalui sejumlah Penyedia Jasa Keuangan Bank dan Non Bang yang tersebar di Kota Mataram dan Sumbawa Barat.

Secara umum, PPATK menemukan adanya 19 orang yang diduga pelaku kejahatan pencucian uang (money laundering) di wilayah Geresik, Surabaya, Madiun, Magetan, Bandung, Mempawah (Pontianak), Kendari, Banjarmasin dan juga NTB. 19 orang tersebut kedapatan melakukan transaksi senilai Rp 747,048 triliun lewat 228 rekening bank dan lembaga keuangan lainnya.

Dari 19 pelaku tersebut, ada yang berprofesi sebagai gubernur, bupati, PNS, aparat penegak hukum, pengusaha, pejabat lelang, kepala Bappeda dan kepala RSUD. Modus yang dilakukan antara lain dengan menggunakan rekening nominee untuk menampung dana masuk yang diduga dana korupsi, menggunakan banyak rekening untuk menampung dana dan mengirimkan ke penegak hukum serta ada pula modus seperti penjualan kain kepada pedagang lokal untuk membayar cicilan mesin, atau modus lelang yang hanya diikuti satu peserta dengan harga penilaian aset rendah, serta sejumlah modus lainnya.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB mengapresiasi kinerja PPATK atas pengumuman publiknya mengenai hasil penelusuran transaksi keuangan yang mencurigakan di sejumlah daerah, termasuk di NTB.

Sekjen FITRA NTB, Ervyn Kaffah menilai apresiasi patut diterima PPATK mengingat semakin canggihnya modus praktek korupsi di daerah saat ini.
“Apresiasi ini patut diterima oleh lembaga tersebut mengingat semakin canggihnya modus praktek korupsi di daerah dewasa ini, sehingga langkah PPATK tepat waktu,” ujar Ervyn, Jumat (22/12).

Di NTB sendiri menurut Ervyn, KPK sangat jarang melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sehingga praktik korupsi semakin berkembang dengan berbagai aktor yang terlibat.


“Di daerah seperti NTB, KPK sangat jarang melakukan OTT. Sehingga, praktis korupsi pada level kedua yang melibatkan perselingkuhan aktor-aktor, baik politisi, pejabat birokrasi, pengusaha, aparat penegak hukum sulit diungkap. Apalagi korupsi pada lapis ketiga, berupa chabal (jejaring) yang bersifat Inter-lokal maupun Inter-nasional,” ungkapnya.

Menurut Ervyn, langkah PPATK memperluas cakupan pemantauan transaksi keuangan mencurigakan mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ia berharap ke depannya PPATK intens dalam pemantauannya di NTB.

“Mengingat sekarang ini, ada pergeseran untuk proyek-proyek infrastruktur yang trendnya mulai bergerak ke pola kerjasama Private-Government. Hal ini juga terkait dengan sejumlah proyek berskala besar yang sedang berproses di NTB. Sebut saja, kini sedang berjalan KEK Mandalika yang investasi load-nya diperkirakan sudah mencapai 80 persen,” paparnya.

“Ke depan, ada rencana pengembangan Global Hub di Lombok Utara, jalan layang Lembar-Kayangan dan sebagainya. Trend nasional, tahun 2017 ini, 58 persen proyek infrastruktur diserahkan pengelolaannya langsung ke swasta dan tahun depan diperkirakan persentasenya meningkat. Beberapa di antaranya bisa jadi berlokasi di NTB,” sambungnya.

Ia menilai kegiatan penelusuran transaksi keuangan oleh PPATK menjadi semakin vital. Akan terjadi pergeseran modus korupsi, dan tentu pola memitigasinya akan berbeda, dari sebelumnya memperbaiki sistem integritas birokrasi dan mengembangkan whistle blowing system, sekarang lebih terarah pada strategi follow the money.

“Untuk kondisi sekarang ini, potensi pencucian uang terbesar dari hasil korupsi di NTB hemat saya masih terkait pengadaan barang jasa publik (public procurement) yang dikelola Pemda. Hal ini dipicu oleh masih buruknya pola belanja di daerah, yang berakibat 45 persen anggaran di seluruh daerah dibelanjakan akhir tahun, sehingga aspek kehati-hatian berkurang dan dapat memicu potensi munculnya praktek moral hazard,” paparnya.

Beberapa kasus yang mencuat beberapa tahun terakhir memberi sinyal terhadap hal itu.  Mengingat besarnya jumlah laporan masyarakat dari NTB yang diterima KPK, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas whistle blowing system yang dikembangkan di birokrasi, seperti di Pemprov NTB.

“Inspektorat NTB seharusnya mengumumkan kepada publik berapa kasus yang sudah diserap dan diteruskan ke APH, tapi selama ini publik kan tidak mendapat informasi,” imbuhnya.

Kondisi umum saat ini, pengusaha di NTB umumnya masih bergantung pada Pemda, hal ini menimbulkan potensi korupsi investasi, perizinan, alih fungsi lahan dam sebagainya, khususnya terkait kegiatan industri ekstraktif (termasuk kehutanan perkebunan, pertambangan) dan pariwisata.

Ervyn berharap temuan PPATK saat ini ditindaklanjuti bersama KPK untuk ditempuh dengan pendekatan represif sehingga menimbulkan efek jera.

“Kita tidak tahu persis siapa pelaku pencucian uang yang sedang ditelusuri PPATK, tapi dari 19 pelaku teridentifikasi melakukan transaksi di lembaga keuangan di Kota Mataram dan KSB. Pihak terkait bisa saja pengusaha/pejabat yang berbasis dari luar negeri atau di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau justru dari NTB sendiri, yang bekerjasama dengan orang yang melakukan pencucian uang tsb di NTB,” pungkasnya.

Pelaku korupsi pencucian uang telah bervariasi, bisa saja rekening pejabat tersebut dikelola staf tertentu yang tidak mempunyai posisi penting. Bahkan bisa pula dikelola kenalan atau jaringan politik, bisa menggunakan jejaring keluarga atau orang dekat dan lainnya.

FITRA NTB bersama jaringan nasional dua tahun belakangan ini sedang mendorong adanya keterbukaan yang lebih substansial mengenai Beneficiary Ownerships atau penerima manfaat sebenarnya dari perusahaan yang terlibat dalam pengadaan barang jasa publik, sektor ekstraktif, dan sektor pariwisata. Sehingga publik dapat mengetahui secara luas dan dapat mempersempit celah korupsi pada sektor-sektor tersebut.

“Sudah masanya pemilik sebenarnya dari perusahaan-perusahaan tersebut harus dibuka kepada publik, dan pemerintah harus membuka itu. Di NTB hal ini bisa dimulai dengan membuka Beneficiary Ownerships perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pengadaan barang jasa publik,” tutupnya. (sat)


Berita-berita FITRA NTB lainnya dapat diakses dalam www.kabarfitrantb.blogspot.co.id
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BARIS VIDEO