Catatan Akhir Tahun 2012: Wajah Buram Pengelolaan Anggaran Daerah


Madiana
Pengelolaan keuangan daerah di NTB mengalami permasalahan yang pelik. Kebijakan anggaran yang sejatinya dihajatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, nampaknya masih jauh panggang dari api. Beberapa persoalan yang masih mengintai kebijakan penganggaran di daerah adalah; pertama, komitmen pemerintah untuk mensejahterakan massa rakyat masih setengah hati. Kedua, terjadi pembajakan anggaran public oleh elit daerah. Ketiga, pemerintah daerah belum menjalankan UU KIP sebagai pintu masuk bagi masyarakat untuk ikut mengawasi kebijakan anggaran.

Realisasi anggaran rendah, potret buruk kinerja birokrasi. Hingga per 12 Desember 2012, rata-rata realisasi belanja APBD Kabupaten/Kota se-NTB TA 2012 baru mencapai  49% (DJKP, Kemenkeu). Total belanja daerah Kabupaten/Kota se-NTB TA 2012 Rp 7,65 triliun. Dengan sisa waktu yang sangat terbatas hingga akhir bulan ini (18 hari), adalah hal yang sangat tidak mungkin untuk menghabiskan anggaran sisa sebesar Rp 3,6 triliun. Maka, bukan rahasia umum, menjelang akhir tahun anggaran terjadi belanja jor-joran tanpa kendali.  Sementara itu, realisasi belanja modal seluruh Kabupaten/Kota se-NTB tidak ada satupun yang mencapai 50% dari total anggaran belanja modal. Berbeda halnya dengan belanja pegawai. Rata-rata realisasi belanja pegawai per 12 Desember 2012 lalu telah mencapai 60%. Ini membuktikan betapa buruknya kinerja aparatur pemerintah daerah kita.


Kabupaten/Kota dengan realisasi belanja daerah di atas 60% adalah Kabupaten Lombok Timur (66,97%), Kabupaten Lombok Barat (65,13%), Kabupaten Dompu (65,01%), Kabupaten Sumbawa dan Kota Mataram (61,7%). Sedangkan Kabupaten/Kota dengan realisasi Belanja Daerah di bawah rata-rata provinsi adalah Kota Bima (11,4%), Kabupaten Lombok Utara (22,9%), dan Kabupaten Bima (28%). Belanja modal di ketiga Kabupaten/Kota ini pun tergolong paling rendah, masing-masing sebesar 8,4%, 14,6%, dan 22,6%. Namun, khusus Kabupaten Lombok Utara sebenarnya realisasi belanja modalnya lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Lombok Tengah (20,1%) dan Kabupaten Sumbawa (20,9%). Padahal kedua kabupaten ini mampu merealisasikan anggaran belanja di atas 50%, jauh di atas realisasi belanja KLU. 

Pembajakan anggaran oleh elit daerah. Di tengah keterbatasan keuangan daerah, alih-alih pemerintah daerah melakukan penghematan dan merealokasi anggaran untuk membiayai program-program yang berkaitan dengan kepentingan public luas, malah elit daerah mengambil keuntungan dan menjadikan APBD sebagai bancakan. Ini tidak terlepas dari kondisi birokrasi kita yang tertutup sehingga masyarakat tidak cukup ruang untuk melakukan pengawasan.
a.      Belanja Bantuan Sosial rentan penyelewengan
Belanja Bantuan Sosial adalah jenis belanja yang paling rentan disalahgunakan dan diitambah lagi dengan lemahnya pertanggungjawaban penggunaan bantuan. Bantuan cenderung dibagi-bagikan kepada kelompok tertentu. Jika tidak diawasi, maka nasib uang rakyat pada pos belanja TA 2013 mendatang, nasibnya tak akan jauh berbeda dengan Bansos pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Pada kasus pemerintah provinsi NTB, misalnya. Pada dua tahun anggaran, yaitu TA 2010 dan TA 2011, terdapat 5 persoalan yang menjadi temuan BPK pada Belanja Bansos, yaitu:
1)      Realisasi  Bansos sebesar Rp 11,53 miliar tidak didukung dokumen pengajuan yang lengkap.
2)      Pemotongan PPh Pasal 21 atas realisasi Bansos untuk Guru Tidak Tetap (GTT) dan Guru Tetap Yayasan (GTY) TA 2010 sebesar Rp 1,78 miliar tidak sesuai ketentuan.
3)      Realisasi Belanja Bansos sebesar Rp 271,15 juta pada TA 2011 dan sebesar Rp Rp 51 juta pada TA 2010 tidak diterima oleh pihak yang berhak.
4)      Belanja Bansos sebesar Rp 51,96 miliar tidak tepat sasaran.
5)      Belanja Bansos dan Bantuan Keuangan belum dipertanggungjawabkan masing-masing sebesar Rp 146,95 miliar dan Rp 65,82 miliar.
Di samping itu, terdapat 4 temuan lain BPK sebagai berikut:
1)      Realisasi Belanja Bantuan Keuangan sebesar Rp 6,75 miliar tidak dengan persetujuan Kepala daerah.
2)      Pengajuan permohonan bantuan oleh Parpol tidak didukung dengan persyaratan administrasi yang sesuai ketentuan.
3)      Format LPJ penggunaan Bantuan keuangan untuk Parpol TA 2010 pada tujuh Parpol di NTB tidak sesuai dengan Pemendagri No. 24 Tahun 2009.
4)      Peruntukan dan Pengelolaan Bantuan Keuangan yang bersifat Khusus pda Provinsi NTB tidak ditetapkan melalui Petunjuk teknis/Pelaksananaan oleh Gubernur.

b.      Belanja daerah masih berorientasi kesejahteraan pejabat
Kebijakan anggaran pemerintah daerah seharusnya dialokasikan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, melihat tren proporsi belanja pegawai, belanja modal, dan belanja barang jasa, tampak jelas ketimpangannya. Belanja pegawai terus mengalami peningkatan signifikan setiap tahun. Sementara untuk dua jenis belanja lainnya mengalami peningkatan fluktuatif. Yang paling disesalkan adalah pengurangan belanja modal yang diproyeksikan menurun pada TA 2013 menjadi Rp 288 miliar. Padahal di satu sisi, Pendapatan daerah diproyeksikan mengalami peningkatan.



Belanja Modal adalah tumpuan akhir masyarakat untuk bisa merasakan langsung kehadiran pemerintah daerah. Karena Belanja Barang dan Jasa lebih banyak dinikmati oleh pejabat daerah. Dari hasil tracking terhadap 15 SKPD/Badan Pemerintah Provinsi NTB - diambil secara acak (Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Bappeda, Dikpora, Dikes, Dinas PU, Dinas Perindag, Dinas Pertanian dan THP, Dinas Budpar, Dispenda, BKP, BKD, dan Biro Keuangan) pada RAPBD 2013, FITRA NTB menemukan bahwa sekitar Rp 16,75 miliar dialokasikan untuk Belanja Makanan dan Minuman; dan sekitar Rp 52,80 miliar dihabiskan untuk perjalanan dinas. Jika, dirata-ratakan, maka setiap hari anggaran yang dihabiskan untuk makan minum dan belanja perjalanan dinas oleh pejabat daerah Provinsi NTB masing-masing adalah Rp 45,9 juta/hari dan Rp 144,7 juta/hari.



Sementara itu, sebagian besar kabupaten/kota di NTB menghabiskan belanja daerah lebih dari 50% untuk membayar “ongkos tukang”. Kabupaten Lombok Tengah adalah kabupaten dengan pengeluaran belanja pegawai tertinggi yang hampir mencapai 70% dari total belanja daerah. Meskipun ongkos tukang tinggi namun sayangnya tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan public. Alhasil, program-program prioritas daerah untuk pengentasan kesenjangan social dan ekonomi hanya mendapat anggaran sisa dalam jumlah yang sangat kecil. Namun kita masih bisa bernafas lega melihat alokasi belanja modal yang cukup tinggi pada kabupaten/kota dengan belanja pegawai di bawah rata-rata provinsi (54%), seperti di Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Lombok Utara, dan Kota Mataram. belanja modal di 3 kabupaten/kota tersebut masing-masing adalah 36%, 31%, dan 20%.
Akibat tingginya belanja yang telah ditetapkan penggunaannya, ruang fiskal menjadi semakin menurun. Penurunan Ruang Fiskal daerah menunjukkan bahwa kemampuan dan fleksibilitas daerah untuk menggunakan anggaran mereka untuk kebutuhan belanja yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan riil mereka menjadi semakin sempit. Empat daerah dengan ruang fiscal di bawah 30% adalah Kabupaten Lombok Tengah (20%), Kota Bima (24%), Kabupaten Bima (25%), dan Kabupaten Lombok Barat (27%).

Badan public (Pemerintah daerah) sama sekali belum memberikan pelayanan informasi yang memadai sesuai dengan yang diatur dalam UU KIP. Nyatanya, setelah 4 tahun diundangkan, UU KIP belum juga dapat diterima sebagai sebuah consensus bersama oleh semua pihak, terutama pemerintah daerah. Sebab sejauh ini, hampir di sebagian besar daerah di NTB belum juga dijalankan, sehingga masyarakat masih tak mampu “masuk lebih dalam” untuk ikut terlibat mengawasi kebijakan pembangunan pemerintah daerah. Padahal masyarakat berharap besar bahwa dengan UU KIP, masyarakat dapat ikut terlibat secara aktif merumuskan dan mengawasi jalannya pembangunan daerah yang dampaknya akan dirasakan masyarakat sendiri.

Adalah sulit kita berharap; kualitas pelayanan public yang prima serta kesejahteraan hidup masyarakat NTB dapat tercapai pada masa-masa mendatang jika pemerintah daerah tidak segera berbenah dan terbuka; dan masyarakat sipil hendaknya dilibatkan secara aktif dalam setiap siklus penganggaran daerah.


Mataram, 31 Desember 2012

ttd

M a d i a n a
Divisi Riset Kebijakan dan Analisis Anggaran

Rencana Shopping Pemerintah NTB 2013


Apa kira-kira kata-kata yang tepat untuk menanggapi rencana shopping pemerintah di bawah ini? Tapi, ma’af ini adalah rancangan saja (RAPBD). Mudahan saja udah dibahas kemarin sebelum ditetapkan sebagai kado ulang tahun NTB (17 Desember). Daftar ini diluar angpao bulanan yang puluhan hingga ratusan juta per bulan, lho.

DAFTAR RENCANA SHOPPING PEMERINTAH TAHUN 2013
No.
Barang
Uang Rakyat yang akan dihabiskan
Keterangan

Pelayanan rumah tangga kepala daerah Gubernur dan Wakil Gubernur


1.
Beli Sepeda
Rp 50.000.000
2.
Beli Pakaian Dinas dan atributnya
Rp 72.000.000
3.
Beli Pakaian Khusus dan hari-hari tertentu
Rp 43.000.000

TOTAL
Rp 165.000.000
(Seratus enam puluh lima juta rupiah)


Peningkatan kapasitas pimpinan dan anggota DPRD

Untuk 55 orang
1.
Beli pakaian dinas dan atributnya
Rp 423.500.000

TOTAL
Rp 423.500.000
(Empat ratus dua puluh tiga juta lima ratus rupiah)

Sumber: RAPBD NTB 2013

Gubernur NTB Bantah Data FITRA

TEMPO.CO, Mataram - Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Muhammad Zainul Majdi, jumlah penghasilannya tidak sebanyak yang dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB, yakni Rp 423 juta per bulan atau Rp 5,1 miliar setahun.
Menurut Zainul Majdi, data yang dikemukakan FITRA tidak valid, asumtif, dan tendensius. Sebab penghasilannya tidak lebih dari seperempat jumlah yang diungkap FITRA. Itu sebabnya Zainul Majdi menyesalkan data FITRA yang ditulis di Koran Tempo edisi Sabtu, 22 Desember 2012.
»Jumlah penghasilan saya kanbisa dilihat di APBD, Dinas Pendapatan Daerah atau Biro Keuangan,” kata Zainul Majdi kepada Tempo, Minggu, 23 Desember 2012.
Menurut Zainul Majdi, penghasilan seluruh kepala daerahrmasuk gubernur, terlihat secara jelas dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seluruh penghasilan kepala daerah sudah didasarkan peraturan yang berlaku.
Gaji serta emua tunjangan kepala daerah bisa dilihat pada data Biro Keuangan. Upah pungut pajak dan retribusi daerah terurao secara terperinci di Dinas Pendapatan Daerah.
”Total penghasilan gubernur kisarannya sekitar Rp 125 juta sebulan. Itu sudah termasuk berbagai tunjangan operasional. Jadi, bukan Rp 423 juta per bulan sepertti yang dikarang-karang FITRA NTB,” ujar Zainul Majdi.
Sebelumnya FITRA NTB meminta pemerintah meninjau kembali peraturan tentang penghasilan dan pemberian fasilitas untuk para kepala daerah dan wakilnya. Sebab jumlahnya dinilai tidak wajar dan tidak mencerminkan kepekaan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih terbelit kesusahan hidup. Total penghasilan kepala daerah dan wakilnya tidak sepadan dengan pelayanan terhadap publik.
Berdasarkan data yang diolah FITRA NTB, penghasilan kepala daerah dan wakil kepala daerah seluruh NTB tahun 2012 ini berada pada rentang Rp 1,1 miliar - Rp 5,1 miliar. Gubernur merupakan kepala daerah dengan penghasilan tertinggi.
Kordinator Divisi Investigasi dan Advokasi FITRA NTB, Ramli, mengatakan penggunaan APBD untuk penghasilan kepala dan wakilnya, mulai dari gubernur hingga bupati, sangat tidak sebanding dengan yang dinikmati rakyat.
Berdasarkan anggaran 2012, rasio belanja daerah per kapita Rp 525.798. Dengan demikian setiap penduduk NTB hanya mendapat jatah dari APBD Rp 525.798 per kapita setahun atau Rp 43.817 per kapita sebulan. Ini fakta yang sangat memprihatinkan,” ucap Ramli kepada Tempo Jumat sore, 21 Desember 2012 lalu.

SUPRIYANTHO KHAFID

FITRA-NTB Minta Dewan Awasi Kerjasama Pemanfaatan Eks-Wisma Giri Putri

Seharusnya Bayar Sewa  Rp. 604 juta, Baru Disetor Kurang dari Rp. 50 juta  

Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA-NTB, Ramli meminta DPRD NTB  meningkatkan efektivitas pengawasannya terhadap kerjasama pemanfaatan  asset Pemprov NTB dengan pihak ketiga. Salah satu kerjasama yang dinilainya perlu diawasi DPRD NTB adalah kerjasama pengelolaan eks-Wisma Giri Putri, yang kini telah bertransformasi menjadi Hotel Giri. Asset Pemprov NTB yang berlokasi di sebelah selatan Lapangan Umum Mataram  ini, menurut catatan FITRA berupa tanah seluas lebih kurang 20 are, bangunan dengan luas sekitar 1.600 m2, dan peralatan serta perlengkapannya.

Menurut penelusuran FITRA-NTB, kerjasama pengelolaan eks Wisma Giri Putri ini melibatkan pihak PT. Manna Hotels Management sebagai penyewa. Perjanjian sewa-menyewa ini dilaksanakan melalui perjanjian nomor 050/305.C/UM/2011 dan nomor 0511/CA-MHM/002 tanggal 11 April 2011 tentang Sewa Menyewa Tanah dan Bangunan Wisma Giri Putri. Jangka waktu perjanjian sewa menyewa tersebut adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak April 2011 sampai dengan  Maret 2016 dan dapat diperpanjang.

Dalam perjanjian tersebut telah diatur, antara lain bahwa besaran uang sewa obyek perjanjian adalah Rp. 100 juta (Rp. 100.000.000,-) setiap tahun yang dibayarkan mulai tahun I (pertama) sejak perjanjian ini ditandatangani. Selain itu pihak PT. Manna Hotel Management juga berkewajiban membayar dan menyelesaikan hutang Wisma Giri Putri atas pengelolaan sebelumnya sebesar Rp. 104 juta (Rp. 104.000.000,-).  Sehingga total kewajiban biaya sewa yang harus dibayar adalah sebesar Rp. 604 juta (Rp. 604.000.000,-) [berasal dari (Rp. 100.000.000,- x 5 thn) + (Rp. 104.000.000,-)].

Namun, sejauh ini pemantauan terhadap pemenuhan kewajiban perusahaan ini menurut Ramli, masih jauh dari yang seharusnya.   “Menurut penelusuran kami, pihak penyewa ini baru menyetor biaya sewa tak sampai Rp. 50 juta. Masak ada orang kontrak sewa-menyewa, sampai lewat satu setengah tahun  uang sewanya 10 persen saja belum dikasih. Ini pasti ada apa-apanya,”  kata mantan aktivis Unram ini.

Ia meminta dewan, membuka secara detail soal kerjasama penyewaan asset ini, untuk memastikan pendapatan daerah dari kerjasama pemanfaatan asset bisa berkontribusi optimal.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Informasi Kerjasama Pengelolaan Eks-Wisma Giri Putri

No Perjanjian
050/305.C/UM/2011 dan nomor 0511/CA-MHM/002 tanggal 11 April 2011
Jangka Waktu       
5 tahun
Pihak Ketiga
PT. MANNA HOTELS MANAGEMENT
Kewajiban Pihak Ketiga
Rp. 604.000.000,-
Pejabat penanggungjawab
Kepala Biro Umum Setda Pemprov NTB

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menurut  Ramli, secara umum FITRA NTB menilai masih banyak potensi masalah dalam kerjasama pemanfaatan asset Pemprov NTB, jadi bukan hanya menyangkut eks-Wisma Giri Putri ini saja. Karenanya, Dewan harus ekstra-cermat dalam mengawasi. “Sekarang kan sedang proses penyusunan APBD tahun 2013, kami minta Dewan mempelototi betul mengenai pola kerjasama pemanfaatan asset Pemprov dengan pihak ketiga. Termasuk diantaranya menilai kembali, sejauhmana tingkat kelayakan nominal yang ditetapkan dalam perjanjian kerjasama pemanfaatan asset itu terhadap harga pasar,” pungkasnya.

Baca juga di http://lomboknews.com/2012/12/13/fitra-ntb-minta-dprd-ntb-awasi-sewa-aset-pemprov-ntb/

Anggaran Kurang, 166 Nyawa Balita Busung Lapar Meregang

Oleh: Ramli

Beberapa hari terakhir ini kita kembali dikejutkan dengan temuan kasus gizi buruk di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Lombok Utara. Catatan kelam pembangunan kesehatan di Provinsi NTB terus berlanjut. Dari tahun 2008 hingga Oktober 2012 ini saja, Dinas Kesehatan Provinsi NTB mencatat sekitar 166 anak-anak NTB meregang nyawa akibat busung lapar.

Provinsi NTB adalah salah satu lumbung pangan nasional yang menyimpan ironi memilukan bernama: busung lapar atau dalam istilah pemerintah disebut gizi kurang dan gizi buruk. Stigma sebagai daerah miskin dan sumber penderita gizi busung lapar telah melekat dalam ingatan kolektif rakyat Indonesia. Tahun 2005, Republik geger dengan temuan kasus busung lapar sekitar 3.950 kasus, 40 diantaranya meninggal dunia; di daerah yang selama bertahun-tahun merupakan lumbung pangan nasional.
Sekitar 25.310 anak NTB, sepanjang periode 2000-2012, menjadi korban kemiskinan structural, sementara pemerintah abai dalam persoalan ini. Padahal selama 13 tahun, sekitar 317 anak-anak NTB kehilangan nyawa. Angka 317 ini jika dibagi sesuai periode kepemimpinan, maka muncul data yang sangat mengejutkan kita. Selama masa periode 2008 sampai dengan 2012, sekitar 166 anak NTB meninggal dunia. Angka ini lebih tinggi dibandingkan angka meninggal dunia 8 tahun sebelumnya, hanya  sekitar 151 balita meninggal.

Jika angka kematian 166 balita tersebut dipersentasekan terhadap jumlah temuan setiap tahun, maka sepanjang pemerintahan TGB-BM, kita menemukan data bahwa rata-rata setiap 100 temuan kasus busung lapar; 3 diantaranya meninggal dunia. Angka ini lebih tinggi dibandingkan saat KLB busung lapar pada tahun 2005 lalu, dengan angka kematian 1 orang setiap 300-an temuan kasus.



Prioritas Tapi Anggaran Minim
Pemerintah benar-benar abai terhadap hak dasar rakyat untuk mendapatkan kesehatan dan kehidupan layak. Pemerintah membiarkan anak-anak meregang nyawa dari tahun ke tahun. Anak-anak yang tak berdaya dibiarkan bergulat sendirian dengan kekurangan gizi dan penyakit ikutan lainnya. Pertanyaan kita: apa yang selama ini pemerintah lakukan untuk masyarakat NTB, terutama masyarakat miskin? Padahal pemerintah berteriak-teriak di media cetak, di radio-radio bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan. Bahwa pemerintah telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bahwa pemerintah telah berhasil swasembada pangan. Dan bukankah pemerintah telah mencantumkan upaya penanganan dan penanggulangan gizi buruk sebagai prioritas utama pembangunan kesehatan kita? (Lihat Renstra Dinas Kesehatan Provinsi NTB Tahun 2009-2013).
Dalam Renstra Dinas Kesehatan tahun 2009-2013 dijelaskan secara jelas bahwa “Salah satu prioritas utama dalam pembangunan kesehatan di NTB adalah penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada balita”. Tapi lihat bagaimana komitmen pemerintah begitu rendah terhadap upaya ini.
Untuk melihat seberapa besar perhatian pemerintah terhadap persoalan ini, kita bisa membandingkannya dengan besaran anggaran yang disediakan untuk program-program terkait. Berdasarkan investigasi Fitra NTB, selama periode 2008-2011, alokasi anggaran tidak pernah lebih dari 0,6 persen dari total anggaran kesehatan atau hanya 0,06 persen dari total APBD NTB (APBD 2008 sekitar 1,2%, ditetapkan pada era Gubernur L Serinata), atau jika dirupiahkan, anggaran penanggulangan gizi buruk akan berada dalam rentang Rp 800 juta sampai dengan Rp 1,2 miliar selama periode 2008 sampai dengan 2011. Dan yang paling aneh, tahun anggaran 2010, pemerintah sama sekali tidak menganggarkan serupiah pun untuk program tersebut.
Bandingkan dengan alokasi anggaran untuk item pelayanan rumah tangga kepala daerah Gubernur dan Wakil gubernur yang menyedot APBD sekitar Rp 1,2 miliar pada tahun 2008 dan terus mengalami peningkatan menjadi Rp 2,5 miliar lebih pada tahun anggaran 2011.
Berikut data alokasi anggaran belanja program penanganan gizi buruk (Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat dan Program Perbaikan Gizi Masyarakat pada Dinas Kesehatan NTB) dari tahun 2008-2011 (dalam juta rupiah).



Melihat data-data ini, apakah kita akan nyaman untuk tidur di rumah masing-masing di saat ribuan anak-anak busung lapar menangis kesakitan melawan maut? Apakah kita akan nyaman mengendarai kendaraan dinas mewah yang dibeli dari hasil perasan keringat rakyat? Jawabannya ada dalam hati nurani kita semua.

Rekomendasi FItra NTB
            Berdasarkan data-data yang sangat jelas di atas, maka dengan ini Fitra NTB menyampaiakan beberapa hal:
1.      Menuntut pemerintah provinsi dan pemerintah kab/kota untuk bertanggung jawab atas kematian 166 anak-anak malang ini.
2.      Menuntut Gubernur dan wakil Gubernur provinsi NTB untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk penanggulangan bencana busung lapar, dan anggaran pro rakyat misnkin lainnya.
3.      Menuntut DPRD provinsi NTB untuk tidak menjadi lembaga stempel APBD. Seyogyanya legislative menggunakan kewajibannya untuk mengawasi dan ikut mengalokasikan anggaran yang lebih untuk penanggulangan bencana busung lapar.
4.      Mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, terutama dalam urusan pelayanan dasar.

 

Memahami Anggaran Publik


Memahami Anggaran Publik[1]

Apa yang dimaksud dengan anggaran?

Anggaran adalah sumber dana yang digunakan untuk menjalankan roda pembangunan dan pembiayaannya bersumber dari APBN/APBD.

Kenapa anggaran Negara dikatakan uang rakyat?

Beberapa alasan yang menjelaskan bahwa anggaran Negara itu uang rakyat, yaitu:
  1. Dana yang dikelola pemerintah bersumber dari pajak dan retribusi yang dipungut dari rakyat/masyarakat.
  2. Dari laba BUMN/BUMD yang pengelolaannya dibiayai menggunakan uang rakyat.
  3. Sumber dana yang berasal dari sumber alam yang digunakan dan dikelola oleh Negara.
  4. Hutang dan hibah, yang pembayarannya menjadi beban rakyat.

Apakah hakikat anggaran itu?

Hakikat anggaran adalah adalah kebijakan keuangan Negara baik di pusat maupun di daerah selama satu tahun dan menggambarkan dari mana saja sumber dananya dan digunakan untuk apa saja.

Apa sih fungsi anggaran itu?

Fungsi anggaran adalah:
1.      Fungsi otorisasi, bahwa anggaran Negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2.      Fungsi perencanaan, bahwa anggaran Negara menjadi pedoman dalam merencakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3.      Fungsi pengawasan, bahwa anggaran Negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah Negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.
4.      Fungsi alokasi, bahwa anggaran Negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran, tingkat kemiskinan, dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efesiensii dan efektifitas perekonomian.
5.      Fungsi distribusi, bahwa kebijakan anggaran Negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
6.      Fungsi stabilisasi, bahwa anggaran Negara menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian

Apa saja prinsip-prinsip dasar anggaran?

Untuk mewujudkan penganggaran yang baik agar tercipta good governance, maka dalam proses penganggaran itu harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini:
  1. Transparan
  2. Akuntabel
  3. Ekonomis, efesien, dan efektif
  4. Disiplin anggaran
  5. Format anggaran
  6. Rasional dan terukur
  7. Keadilan anggaran
  8. Pendekatan kinerja
  9. Dokumen publik

 

[1] Disadur dari Modul “Merebut Hak Rakyat atas Akses Informasi Anggaran”, terbitan Seknas FITRA, 2009, hal. 3-10.

Buruknya Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah Se-NTB

Masih ingat rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) beberapa waktu yang lalu terkait peringkat provinsi terkorup se-Indonesia? Berikut Fitra NTB sajikan hasil analisis singkat kinerja pemerintah daerah se-NTB dalam pengelolaan keuangan daerah (APBD) beserta potensi kerugian negara/daerah, semester I tahun 2012.

Temuan Kasus di Pemprov NTB tertinggi
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Fitra NTB menyebutkan, temuan-temuan kesalahan pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah se-NTB periode 2008-2012 sekitar 3.408, dengan total potensi kerugian keuangan daerah sebesar Rp 67,1 miliar. Sepanjang periode tersebut, secara kumulatif, temuan-temuan ini mengalami tren peningkatan tiap tahun. Angka ini berpotensi meningkat pada akhir semester II tahun 2012.

Jika diurut berdasarkan potensi kerugian keuangan daerah, Pemerintah Kota Bima berada pada urutan pertama sebesar Rp 25,4 miliar, diikuti oleh Pemerintah Provinsi NTB dengan potensi kerugian sebesar Rp 9,95 miliar. Sedangkan dua urutan terbawah adalah pemerintah daerah dengan potensi kerugian terendah, yaitu Kota Mataram dan Kabupaten Bima, masing-masing potensi kerugian yang timbul akibat kesalahan pengelolaan keuangan daerah sebesar Rp 1,01 miliar dan Rp 476 juta.

Namun dari sisi jumlah kasus, Pemerintah Provinsi NTB memuncaki pemeringkatan. Total temuan BPK RI pada pengelolaan keuangan (APBD) Provinsi NTB periode 2008-2012 sebanyak 636 kasus. Berbeda dengan Kabupaten Bima yang berada di urutan terendah, yaitu 113 kasus.
 
Sedangkan peringkat kinerja pemerintah daerah dalam menindaklanjuti temuan BPK tersebut, hanya empat pemerintah daerah yang mampu menindaklanjuti di atas 50 persen dari total temuan kasus, yaitu Kabupaten Sumbawa (73,3%), Kabupaten Bima (65,5%), Pemprov NTB (64,6%), dan Kabupaten Lombok Barat (53,8%). Sedangkan pemerintah daerah dengan kinerja tindak lanjut terburuk adalah Kabupaten Lombok Timur(23,3%) dan Kabupaten Dompu(27,8%). Sementara itu, Pemerintah Kota Mataram yang sebelumnya menjadi pemerintah daerah dengan kinerja terbaik pada Semester II 2011, kinerjanya mengalami penurunan.
 

Tabel 3. TREN FLUKTUASI JUMLAH REKOMENDASI BPK RI PERIODE 2008-2012 PER KABUPATEN/KOTA SE-NTB










Dari uraian-uraian ini, FITRA NTB berharap pemerintah daerah se-NTB terus meningkatkan upaya peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerahnya masing-masing, terutama Pemprov NTB yang menjadi lokus temuan kasus tertinggi. Jangan sampai temuan-temuan ini menumpuk dari tahun ke tahun.

Pemerintah daerah harus berhati-hati dalam mengelola keuangan daerah.  Jangan sampai muncul temuan kasus yang berkonswekuensi hukum. Pengawasan internal harus diperketat agar temuan-temuan kesalahan pengelolaan keungan yang merugikan kas Negara/daerah tersebut mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya. Upaya pencegahan lebih baik dan akan berpotensi meningkatkan kualitas anggaran daerah atau uang rakyat. Harapannya, ini akan berdampak terhadap perbaikan kualitas pelayanan publik.

BARIS VIDEO