Lipstik Bernama Partisipasi Publik

Menarik membaca tulisan Kepala Perwakilan Ombudsman Wilayah NTB, Bung Adhar Hakim di harian ini (Suara NTB, 2/1/2013); bahwa pintu masuk praktek korupsi selama ini adalah maladministrasi pelayanan publik.

Menariknya lagi, pelibatan publik dalam mengawasi jalannya pelayanan publik disebutnya sebagai satu jalan efektif untuk mencegah berlangsungnya praktek maladministrasi, dengan melihat dan memerhatikan kisah sukses negara-negara tetangga. Hal tersebut sejalan dengan hasil perenungan berbagai pihak, termasuk KPK, bahwa kita terlampau sibuk mengintip para pelaku beraksi. Jika ada yang tertangkap, diseret ke pengadilan dan selanjutnya divonis; toh dengan hukuman ringan yang melukai rasa keadilan masyarakat. Maka, upaya penindakan selama ini dikatakan gagal menekan jumlah praktek dan pelaku korupsi. Sebab sejauh ini korupsi telah merangsek ke mana-mana, bukan lagi monopoli kaum pria, juga bukan lagi monopoli kelompok tua, atau hanya dilakukan oleh kelompok sekuler anti-agama.

Orde Baru yang kita caci-maki sebagai rezim pembunuh ruang publik berhasil kita tumbangkan dengan menaruh harapan besar perubahan mendasar dapat terwujud. Namun tidak semudah membalikkan telapak tangan, karut-marut persoalan bangsa masih tak teruraikan. Praktek korupsi adalah sajian keteladanan maha buruk para pejabat dan konglemerat bagi generasi bangsa. Imbasnya, pelayanan publik compang-camping di sana-sini.

Desentralisasi yang kita impikan menjadi peletak dasar perbaikan pelayanan public pun ternyata jauh panggang dari api. Alih-alih pelayanan publik membaik, korupsi ikut terdesentralisasi ke daerah-daerah. Lantas kita mendorong institusi-institusi baru sebagai pengawal publik menuntut hak-hak dasar sebagai warga negara. Institusionalisasi sebagai solusi pun terengah-engah untuk bisa membenah birokrasi.

Kita nyatanya lupa bahwa negara tidak pernah sepenuh hati membuka ruang partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan negara. Akibatnya, perampasan daya warga oleh negara tetap berlangsung, yaitu perampasan daya sosial dan politik (Alam, et.all, 2009). Perampasan daya sosial menyangkut akses setiap individu pada informasi pengetahuan, ketrampilan, partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumber-sumber keuangan. Sedangkan perampasan daya politik, yaitu akses pada pengambilan keputusan politik, baik dipilih atau memilih dan akses untuk menyuarakan aspirasi dan untuk bertindak secara kolektif.

Tidak ada seorang pun yang menyangkal, partisipasi public adalah keniscayaan dalam Negara demokrasi, baik secara fisik atau ide, langsung atau pun lewat perwakilan. Namun tak cukup sekedar partisipasi publik, dibutuhkan satu prasyarat lagi, yaitu transparansi badan publik. Persinggungan antar dua prasyarat penting ini menghasilkan irisan berupa perbaikan kualitas hidup warga dan pelayanan public yang prima bagi semua. Dalam konsep ini, keseimbangan hubungan yang sehat antara negara dan warganegara adalah sebuah kondisi yang harus terpenuhi.

Yang terjadi selama ini, kehendak publik untuk ikut terlibat penuh dalam peyelenggaraan negara terbentur oleh sikap tertutup birokrasi/badan public dan pengibirian oleh politisi. Publik mafhum bahwa pelayan publik bopeng dimana-mana. Di saat masyarakat berkehendak untuk ikut memperbaiki dan mengawasi, publik tiba-tiba menemukan jalan buntu karena akses untuk tahu ditutup rapat-rapat. Lalu publik hanya bisa mengelus dada sambil merasakan kembali pelayanan public dengan kualitas yang sama buruknya.

Maka akses informasi bagi warga amat penting untuk dibuka selebar-lebarnya agar niat baik warga dapat tertunaikan. Akses informasi  mendapatkan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang layak dan murah, termasuk syarat, prosedur, dan biaya. Selain itu, akses informasi bagi warga terhadap informasi kebijakan anggaran (APBN/APBD). Singkatnya, segala akses informasi pembangunan, karena tidak ada satu pun kebijakan pemerintah yang tidak akan berdampak pada kehidupan warga baik secara personal maupun kolektif. Sebab kebebasan warga memperoleh informasi dari badan public sangat fundamental dalam upaya pencegahan korupsi.  Adalah dosa bagi pemerintah jika menghalang-halangi warga untuk menunaikan kewajibannya mengawasi dan mendorong pemerintahan yang baik dan amanah. 

Semangat Pasal 28F UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sejatinya menjadi “pemaksa” bagi badan publik untuk membuka akses informasi publik. Namun sangat disayangkan, sebagian besar badan publik masih tersesat dalam kejahiliyahan masa lalu yang menganut sistem ketertutupan. Padahal, ketertutupan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan demokratis adalah ruang fitnah dan ladang potensial terjadinya berbagai penyimpangan kekuasaan. Dan itu telah kita alami selama 32 tahun masa kelam Orde Baru.

Barangkali kita sepakat, pesimisme melihat realitas kekinian kita hanya akan membawa negara ini makin babak-belur dan hancur lebur. Dan tentunya kita tidak ingin negara-bangsa yang besar ini akan menemui ajalnya dengan cara yang mengenaskan seperti itu. Mari kita berdo’a saja, semoga tahun 2013 ini semua elemen bangsa sadar bahwa korupsi adalah keserakahan yang tak terma’afkan, dan semoga pelayanan publik semakin membaik dan berkualitas untuk semua. 

This article was published in Harian Umum Suara NTB at 9 Januari 2013 

BARIS VIDEO