Anggaran Kurang, 166 Nyawa Balita Busung Lapar Meregang

Oleh: Ramli

Beberapa hari terakhir ini kita kembali dikejutkan dengan temuan kasus gizi buruk di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Lombok Utara. Catatan kelam pembangunan kesehatan di Provinsi NTB terus berlanjut. Dari tahun 2008 hingga Oktober 2012 ini saja, Dinas Kesehatan Provinsi NTB mencatat sekitar 166 anak-anak NTB meregang nyawa akibat busung lapar.

Provinsi NTB adalah salah satu lumbung pangan nasional yang menyimpan ironi memilukan bernama: busung lapar atau dalam istilah pemerintah disebut gizi kurang dan gizi buruk. Stigma sebagai daerah miskin dan sumber penderita gizi busung lapar telah melekat dalam ingatan kolektif rakyat Indonesia. Tahun 2005, Republik geger dengan temuan kasus busung lapar sekitar 3.950 kasus, 40 diantaranya meninggal dunia; di daerah yang selama bertahun-tahun merupakan lumbung pangan nasional.
Sekitar 25.310 anak NTB, sepanjang periode 2000-2012, menjadi korban kemiskinan structural, sementara pemerintah abai dalam persoalan ini. Padahal selama 13 tahun, sekitar 317 anak-anak NTB kehilangan nyawa. Angka 317 ini jika dibagi sesuai periode kepemimpinan, maka muncul data yang sangat mengejutkan kita. Selama masa periode 2008 sampai dengan 2012, sekitar 166 anak NTB meninggal dunia. Angka ini lebih tinggi dibandingkan angka meninggal dunia 8 tahun sebelumnya, hanya  sekitar 151 balita meninggal.

Jika angka kematian 166 balita tersebut dipersentasekan terhadap jumlah temuan setiap tahun, maka sepanjang pemerintahan TGB-BM, kita menemukan data bahwa rata-rata setiap 100 temuan kasus busung lapar; 3 diantaranya meninggal dunia. Angka ini lebih tinggi dibandingkan saat KLB busung lapar pada tahun 2005 lalu, dengan angka kematian 1 orang setiap 300-an temuan kasus.



Prioritas Tapi Anggaran Minim
Pemerintah benar-benar abai terhadap hak dasar rakyat untuk mendapatkan kesehatan dan kehidupan layak. Pemerintah membiarkan anak-anak meregang nyawa dari tahun ke tahun. Anak-anak yang tak berdaya dibiarkan bergulat sendirian dengan kekurangan gizi dan penyakit ikutan lainnya. Pertanyaan kita: apa yang selama ini pemerintah lakukan untuk masyarakat NTB, terutama masyarakat miskin? Padahal pemerintah berteriak-teriak di media cetak, di radio-radio bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan. Bahwa pemerintah telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bahwa pemerintah telah berhasil swasembada pangan. Dan bukankah pemerintah telah mencantumkan upaya penanganan dan penanggulangan gizi buruk sebagai prioritas utama pembangunan kesehatan kita? (Lihat Renstra Dinas Kesehatan Provinsi NTB Tahun 2009-2013).
Dalam Renstra Dinas Kesehatan tahun 2009-2013 dijelaskan secara jelas bahwa “Salah satu prioritas utama dalam pembangunan kesehatan di NTB adalah penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada balita”. Tapi lihat bagaimana komitmen pemerintah begitu rendah terhadap upaya ini.
Untuk melihat seberapa besar perhatian pemerintah terhadap persoalan ini, kita bisa membandingkannya dengan besaran anggaran yang disediakan untuk program-program terkait. Berdasarkan investigasi Fitra NTB, selama periode 2008-2011, alokasi anggaran tidak pernah lebih dari 0,6 persen dari total anggaran kesehatan atau hanya 0,06 persen dari total APBD NTB (APBD 2008 sekitar 1,2%, ditetapkan pada era Gubernur L Serinata), atau jika dirupiahkan, anggaran penanggulangan gizi buruk akan berada dalam rentang Rp 800 juta sampai dengan Rp 1,2 miliar selama periode 2008 sampai dengan 2011. Dan yang paling aneh, tahun anggaran 2010, pemerintah sama sekali tidak menganggarkan serupiah pun untuk program tersebut.
Bandingkan dengan alokasi anggaran untuk item pelayanan rumah tangga kepala daerah Gubernur dan Wakil gubernur yang menyedot APBD sekitar Rp 1,2 miliar pada tahun 2008 dan terus mengalami peningkatan menjadi Rp 2,5 miliar lebih pada tahun anggaran 2011.
Berikut data alokasi anggaran belanja program penanganan gizi buruk (Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat dan Program Perbaikan Gizi Masyarakat pada Dinas Kesehatan NTB) dari tahun 2008-2011 (dalam juta rupiah).



Melihat data-data ini, apakah kita akan nyaman untuk tidur di rumah masing-masing di saat ribuan anak-anak busung lapar menangis kesakitan melawan maut? Apakah kita akan nyaman mengendarai kendaraan dinas mewah yang dibeli dari hasil perasan keringat rakyat? Jawabannya ada dalam hati nurani kita semua.

Rekomendasi FItra NTB
            Berdasarkan data-data yang sangat jelas di atas, maka dengan ini Fitra NTB menyampaiakan beberapa hal:
1.      Menuntut pemerintah provinsi dan pemerintah kab/kota untuk bertanggung jawab atas kematian 166 anak-anak malang ini.
2.      Menuntut Gubernur dan wakil Gubernur provinsi NTB untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk penanggulangan bencana busung lapar, dan anggaran pro rakyat misnkin lainnya.
3.      Menuntut DPRD provinsi NTB untuk tidak menjadi lembaga stempel APBD. Seyogyanya legislative menggunakan kewajibannya untuk mengawasi dan ikut mengalokasikan anggaran yang lebih untuk penanggulangan bencana busung lapar.
4.      Mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, terutama dalam urusan pelayanan dasar.

 

BARIS VIDEO