Rilis.id - 7 Februari 2018, 18:11 WIB
Aparat penegak hukum
(APH) dinilai sudah bisa melakukan serangkaian proses penyelidikan untuk
mengusut kejelasan sisa dana penjualan saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT),
yang menjadi bagian milik tiga Pemda di Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Ya, menurut
saya APH sudah semestinya mengambil langkah pro aktif mengenai isu ini (dana
saham PT NNT)," kata Sekjen FITRA NTB, Ervyn Kaffah.
Menurut Ervyn, sisa
dana hasil penjualan saham PT NNT yang menjadi hak daerah, sudah terdefinisi
dan termasuk sebagai keuangan atau kekayaan negara/daerah, meski pada faktanya
dana itu belum disetorkan dan masuk dalam kas daerah.
Aturannya bisa
dilihat di UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Di situ diatur bahwa
kekayaan negara/kekayaan daerah itu termasuk yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.
"Kalau ditanya
apakah sisa dana saham itu termasuk kekayaan daerah?, maka iya, jelas termasuk
(kekayaan daerah). Singkatnya, kekayaan negara/daerah itu bukan hanya mencakup
uang fisik yang sudah ditransfer atau belum, tapi surat berharga seperti saham
dan piutang daerah juga termasuk," katanya.
Sebab itulah, papar
Ervyn, jajaran APH bisa saja mengusut masalah ini hingga tuntas. Bukan hanya
soal kejelasan sisa dana pembayaran saham saja, tetapi termasuk dugaan adanya
selisih jumlah sisa dana tersebut.
"APH juga bisa
mengusut dugaan adanya selisih yang sangat besar antara pengakuan para pihak
mengenai nilai penjualan 6 Persen saham Pemda di PT NNT tersebut. Intinya,
karena ada indikasi selisih nilai jual saham tersebut bisa jadi jalan masuk
bagi APH," kata Ervyn.
Selain langkah
pro-aktif APH, menurut Ervyn, elemen masyarakat yang memiliki kepedulian
terhadap hal ini bisa juga menyampaikan laporan mereka kepada APH. Baik melapor
ke Kepolisian, Kejaksaan, atau pun langsung ke KPK.
"Nah, kita juga
tak tahu, apakah sudah ada elemen masyarakat yang melaporkannya kepada APH.
Bisa saja sudah ada yang melaporkannya, tapi kita tidak tahu Khan?,"
tukasnya.
Sebelumnya, Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) perwakilan Nusa Tenggara Barat
(NTB) mendesak para anggota DPR RI, khususnya yang berasal dari daerah
pemilihan (Dapil) NTB untuk aktif memperjelas dana hasil penjualan saham PT
Newmont Nusa Tenggara Barat (NNT).
Sedikitnya 24 persen
saham dari saham PT NNT yang diakusisi oleh Group Medco merupakan saham PT
Multi Daerah Bersaing (MDB), konsorsium PT Multi Capital (Bakrie Group) bersama
PT Daerah Maju Bersaing (DMB).
Di dalam 24 persen
saham itu, daerah memiliki sekitar 6 persen saham hasil divestasi PT DMB,
sebuah Perusda gabungan dari Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa, dan Pemkab Sumbawa
Barat.
Namun, hingga kini
dana hasil penjualan saham itu belum juga masuk ke kas tiga daerah ini. Diduga,
dana hasil penjualan saham masih mengendap di PT Multi Capital (Barie Group).
FITRA menyerukan agar
wakil rakyat di DPR dari Dapil NTB mengambil langkah aktif untuk ikut
memastikan hasil penjualan 6 persen saham tiga Pemda di NTB bisa segera diterima
oleh daerah.
Bukan hanya soal dana
yang belum masuk, terkait jumlah dana saham itu FITRA juga menemukan indikasi
selisih dana yang cukup besar.
"Nilai transaksi
6 persen saham tersebut sampai kini tidak diketahui jumlah persisnya, namun
diperkirakan mencapai Rp 2,1 Triliun. Transaksi penjualan saham sudah beres
sejak November 2016, namun PT. MC tidak juga mentrasfer dana tersebut. Hal ini
menjadi pertanyaan masyarakat di NTB. Apalagi, sampai saat ini tidak ada
kejelasan bagi publik, berapa sebenarnya nilai penjualan saham tersebut,"
kata Ervyn.
Merujuk pengakuan
dari pihak NNT sendiri, Newmont telah melepas 48,5 persen kepemilikan sahamnya
dengan nilai US$ 1,3 miliar, artinya nilai 6 persen saham Pemda sekitar US$ 163
juta atau Rp 2,1 triliun.
Angka versi Newmont
ini berbeda dengan pengakuan versi Bakrie Group yang menyebut nilai penjualan
24 persen saham mereka (termasuk 6 persen saham Pemda di dalamnya) hanya
sebesar US$ 400 juta.
Artinya, nilai 6
persen saham Pemda sekitar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,3 triliun. Sementara
itu, informasi yang bersumber dari Pemprov NTB sendiri, nilai penjualan 6
Persen saham Pemda hanya Rp 484 miliar.
Selisih antara
pengakuan NNT dan Bakrie itu sekitar Rp 800 miliar. Kalau dibandingkan dengan
pengakuan Pemprov NTB, selisihnya lebih besar lagi mencapai Rp 1,6 Triliun.
Sementara selisih nilai antara pengakuan Bakrie Group dengan Pemprov NTB
sekitar Rp 800 miliar lebih.
"Jadi, ada
selisih yang sangat besar berdasar pengakuan tiga pihak tersebut mengenai nilai
penjualan 6 Persen saham tiga Pemda di NTB," tegasnya.
Pemprov NTB sudah
mengambil sikap tegas untuk masalah ini. Pemprov NTB berencana menggunakan
Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk menagih dana sekitar Rp400 Miliar dari sisa
hasil penjualan saham yang belum masuk ke kas daerah.
“Pak Gubernur sangat
serius perhatikan soal saham ini. Kalau sampai tanggal 16 Februari belum juga
lunas dibayar, maka akan gunakan jaksa pengacara negara untuk menagihnya,” kata
Assisten II Pemprov NTB, Chairul Mahsul.
Diskusi
Panas di Jakarta
Simpang siur
pembayaran sisa dana saham PT NNT yang harusnya menjadi milik Pemda di Nusa
Tenggara Barat (NTB), kian disoroti banyak pihak.
Sebuah diskusi khusus
membahas "Transparansi Divestasi Newmont Nusa Tenggara", digelar
Institut Soekarno Hatta, Selasa (6/2) di Jakarta, dihadiri sejumlah narasumber
berkompeten, seperti analisis pertambangan, Poetra Adi Soerjo dan anggota DPR
RI, Effendi Simbolon.
Selain memperjelas
sisa dana penjualan saham yang belum masuk ke kas daerah, dalam diskusi itu
terungkap adanya selisih harga penjualan saham PT NNT.
Laporan Medco sebagai
pihak pengakuisisi menyatakan nilai saham 6 persen itu berkisar Rp2,56 Triliun.
Sementara laporan keuangan Bumi Resources, nilai saham 6 persen itu adalah 1,3
triliun.
Selisih juga sangat
fantastis dengan PT DMB, Perusda gabungan tiga Pemda yang menyatakan sisa dana
saham yang menjadi hak Pemda hanya sekitar Rp500 Miliar.
Diskusi yang berjalan
cukup panas, sebagian pihak sempat merekomendasikan agar masalah saham ini
dibawa ke proses hukum, bahkan ke KPK.
Tujuannya agar akar
masalah menjadi terang benderang dan tidak ada lagi kesimpangsiuran.
Berita-berita FITRA
NTB lainnya dapat diakses dalam www.kabarfitrantb.blogspot.co.id