![]() |
Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi |
RADAR LOMBOK
5 Desember 2017
MATARAM – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB meminta
Gubernur TGH M Zainul Majdi menjelaskan ke publik terkait penjualan 6 persen saham PT Newmont Nusa
Tenggara (PTNNT) milik pemerintah daerah melalui perusahaan daerah PT
Daerah Maju Bersaing (DMB).
Pasalnya, uang hasil penjualan saham tersebut juga tidak dimasukkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2018. Kamis
lalu (30/11), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTB
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB tahun 2018 sebesar
Rp 5.255.935.800.854. APBD Provinsi NTB tahun 2018 mengalami defisit sebesar Rp
25 miliar lebih. Dibandingkan APBD Perubahan 2017, APBD NTB 2018 juga
berkurang Rp 252,1 miliar lebih atau 4,58 persen.
Sekretaris Jenderal FITRA NTB, Ervyn Kaffah yang juga Dewan Nasional
FITRA mendesak gubernur mengungkapkan ke publik secara transparan.
“Asumsi pendapatan kita (di APBD 2018) menurun, lalu kenapa tidak dimasukkan
hasil penjualan saham untuk tutupi itu?. Dan kenapa juga sampai sekarang
pembayaran saham tertahan, belum juga lunas?,” ujar Ervyn kepada Radar Lombok,
Senin malam (4/12).
Menurutnya, gubernur harus bertanggungjawab. Uang penjualan saham
bukanlah milik pribadi atau perusahaan, namun uang tersebut milik rakyat NTB.
Oleh karena itu, sudah tidak ada alasan lagi untuk menutupi skandal penjualan
saham.
Hal yang patut dicermati, kata Ervyn, Ketua Tim Anggaran Pemerintah
Daerah (TAPD) Provinsi NTB H Rosiady Sayuti yang juga Sekretaris Daerah (Sekda)
pernah berjanji akan memasukkan hasil penjualan saham dalam APBD 2018. “Sekda
janji akan masukkan ke APBD, lalu kok sekarang tidak. Ini ada apa, gubernur
harus menjelaskan semuanya,” pinta Ervyn.
Ditegaskan, uang hasil penjualan saham harus masuk ke kas daerah.
Kemudian penggunaannya dibahas oleh eksekutif dan legislatif. “Saya tidak
setuju kalau dianggap cukup dibahas oleh tiga orang (pemegang saham PT DMB) di
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Itu bukan uang hasil usaha, itu saham pemda
yang dijual,” katanya.
Ervyn tidak ingin gubernur terkesan tidak mengetahui masalah penjualan
saham. Harkat dan martabat dirinya sebagai gubernur harus tetap dijaga. “Apa
kata orang kalau gubernur tidak tahu. Kalau tahu, kami minta jelaskan
sejelas-jelasnya ke publik. Ada apa dengan uang penjualan saham itu, kenapa
pembayarannya tertahan?. Kenapa tidak dimasukkan ke APBD?,” uajr Ervyn.
Selain itu, Ervyn juga mengkritisi APBD 2018 yang dinilai masih belum
menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan target Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Hal itu dapat dilihat dari pos-pos anggaran
yang belum adanya sinkronisasi.
Ervyn mencontohkan untuk program pengentasan kemiskinan. Anggaran yang
dianggap triliunan tersebut belum jelas seperti apa bentuknya. “Masalah rakyat
itu belum terselesaikan dengan anggaran yang ada,” ucapnya.
Dijelaskan, terdapat tiga solusi untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang ada. Pertama, pemerintah harus menyiapkan belanja modal yang
besar. Dengan begitu, maka akan banyak harapan ekonomi masyarakat bisa
disuntikkan.
Belanja modal yang besar, akan efektif apabila realisasi anggaran
nantinya sehat. Artinya, tidak melakukan tradisi seperti tahun-tahun
sebelumnya, anggaran menumpuk di ujung tahun. “Pemda harus intervensi
perbankan, bagaimana agar masyarakat bisa mudah mendapatkan modal dengan cara
kredit produktif,” terangnya.
Selanjutnya adalah memaksimalkan investasi dalam bidang yang banyak
ditekuni oleh masyarakat. Misalnya saja yang telah berhasil seperti jagung di
Dompu. “Investasi di bidang pertanian harus dipacu, di pariwisata kan sudah
banyak juga,” katanya.
Terkait uang hasil penjualan saham, pendapat FITRA sama dengan pakar
hukum Universitas Mataram (UNRAM), Dr Lalu Wira Pria Suhartana. Menurutnya,
hasil penjualan saham wajib hukumnya masuk ke kas daerah. Uang tersebut tidak
boleh dipegang dan dikelola langsung oleh perusahaan daerah (Perusda) tanpa
melalui mekanisme penganggaran.
Ditegaskan, tidak ada alasan untuk membenarkan langkah PT DMB, eksekutif
maupun legislatif yang membiarkan uang hasil penjualan saham tidak masuk ke kas
daerah. Apabila uang hasil penjualan saham tersebut dengan sengaja tidak
dimasukkan ke kas daerah, maka pemerintah melanggar Undang-undang (UU) Nomor 1
tahun 2014 tentang Perbendaharaan Negara. “Ingat, apabila kepala daerah
melanggar UU, maka itu sama saja melanggar sumpah janji jabatannya,” ungkap
Wira.
Selain UU, persoalan aset daerah juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Selanjutnya diperjelas kembali dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik
Daerah.
Berbagai regulasi tersebut, dengan jelas diatur tentang aset daerah yang
dipindahtangankan. Mulai dari adanya persetujuan DPRD NTB apabila nilai aset di
atas Rp 5 miliar, hingga hasil penjualan atau pemindahtanganan harus masuk ke
kas daerah. “Marilah berikan contoh yang baik pada rakyat. Masa sih pemerintah
yang seharusnya menjunjung tinggi aturan malah menginjak-injaknya,” sesal Wira.
PT DMB mendapat uang sebesar Rp 718 miliar dari hasil penjualan saham
dan termasuk dividen atas kepemilikan saham itu sebelum dijual. Untuk uang
hasil penjualan saham saja sekitar Rp 409 miliar. Sisanya merupakan dividen
yang harus diterima pemda selaku pemilik saham. “Lalu kenapa dulu mesti harus
ada persetujuan DPRD melalui paripurna kalau memang uang itu bisa
seenaknya dikelola DMB?. Tidak benar ini, harus dimasukkan dalam kas daerah,”
ujar Wira.
Tidak masuknya hasil penjualan saham ini ke APBD sempat jadi sorotan
Fraksi PKS DPRD NTB pada rapat paripurna dengan agenda pemandangan umum
fraksi-fraksi DPRD NTB terhadap Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD) 2018.
Juru bicara Fraksi PKS DPRD Provinsi NTB, H Johan Rosihan dalam
pandangan fraksi yang dibacakan, mengkritisi tajam menurunnya nilai APBD NTB
tahun 2018. Namun anehnya, masalah kekurangan tersebut belum dicarikan solusi
terbaik.
Menurut Johan, salah satu solusi cerdas yang bisa diambil yaitu dengan
memasukkan hasil penjualan saham milik pemerintah daerah pada PTNNT yang
dikelola perusahaan daerah PT DMB. Nilai hasil penjualan saham cukup besar
mencapai Rp 400 miliar. “Andaikan itu dimasukkan, akan sangat
membantu menenangkan postur APBD NTB 2018,” ujarnya.
Realitanya, dalam RAPBD 2018, yang tercatat nilai pendapatan dari hasil
penjualan saham hanya sebesar Rp 40 miliar saja. “Apa langkah-langkah yang
telah dilakukan oleh pemda untuk memastikan dana hasil penjualan saham tersebut
masuk ke kas daerah?. Dimana dalam RAPBD 2018 hanya dianggarkan sebesar
Rp 40 miliar saja. Bagaimanakah rencana dan tahapan PT DMB untuk menyetorkan
hasil penjualan saham tersebut ke kas daerah ? Mohon diberikan penjelasan,”
kata Johan.
Penerimaan dari PT DMB tidak layak dikelola langsung. Apalagi selama ini
PT DMB tidak memiliki struktur bisnis yang jelas. Hal itu tentu saja
membuat PT DMB tidak layak menahan uang hasil penjualan saham di PTNNT.
Direktur utama (Dirut) PT DMB, Andy Hadianto sebelumnya kepada koran ini
mengakui pembayaran saham ini belum juga lunas dibayar oleh PT
Multi Capital (MC) milik Bakrie Group.
Padahal, sejak beberapa waktu pembayaran dipastikan bisa tuntas
pada bulan September 2017. Harga 6 persen saham itu sekitar Rp 484
miliar. Lalu ditambah dengan nilai dividen yang diterima sebesar Rp 234
miliar. Dengan begitu, total uang yang akan diterima PT DMB dari PT MC senilai
Rp 718 miliar.
Pada bulan Agustus lalu, PT DMB telah menerima uang sekitar Rp 300
miliar dari total Rp 718 miliar. Namun Andi memastikan akan lunas pada bulan
September. “Sebenarnya tetap dibayar, setiap minggu masuk kok. Kan dicicil
bayarnya. Tapi akhir bulan ini selesai kok,” kata Andi belum lama ini.
Diakui Andi, uang hasil penjualan saham memang tidak masuk ke kas
daerah. Uang tersebut langsung ditransfer ke rekening PT DMB selaku Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD). Nantinya, uang tersebut akan digunakan sesuai dengan hasil
RUPS.
Menurut Andi, RUPS kemungkinan besar akan dilaksanakan pada bulan
Januari 2018. Saat ini pihaknya sedang menata nilai aset yang dimiliki oleh
perusahaan. Data itulah yang kemudian akan dibawa dan dilaporkan dalam RUPS.
“Nanti saat RUPS saya umumkan semuanya soal nilai kekayaan perusahaan,”
ujarnya.
Sekretaris Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi NTB, H
Supran menjelaskan, hasil penjualan saham tersebut memang tidak
dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD)
2018 karena bukan bagian dari proyeksi pendapatan. “Hasil penjualan saham
memang tidak masuk ke daerah, makanya tidak kita masukkan ke APBD,”
terangnya.
Berbeda halnya dengan uang dividen yang telah masuk ke kas daerah. TAPD
menilai hasil penjualan saham tidak harus dimasukkan ke kas daerah. “Itu kan PT
(perseroan terbatas), jadi mereka sih yang kelola sendiri. Berbeda halnya
dengan dividen, kalau dividen kan memang hak daerah dan itu sudah dibayar oleh
DMB,” jelas Supran. (zwr)
Berita-berita FITRA
NTB lainnya dapat diakses dalam www.kabarfitrantb.blogspot.co.id