Pemilu hakekatnya merupakan peradilan rakyat untuk menghukum para wakilnya yang tak amanah. Tapi apakah ini berlaku untuk Pemilu lalu?
Dominannya wajah baru dalam
struktur komposisi anggota DPRD di NTB, tak lantas bisa disimpulkan, bahwa
mereka akan lebih baik dari para pendahulunya pun tak sepenuhnya bisa meyakinkan
kita bahwa mereka tak akan bisa diandalkan. Pesimisme sekaligus optimisme
public bercampur aduk.
Dari hasil Pileg 2014 lalu, hanya 22 orang anggota DPRD provinsi NTB wajah lama. Sebanyak 23 anggota tak terpilih lagi, 7 anggota gagal mencoba peruntungan menuju Senayan. Artinya, dari 65 anggota DPRD terpilih hasil Pileg lalu, sebagian besar (66 persen) wajah baru. Pun di tingkat kabupaten/kota, anggota DPRD terpilih didominasi muka-muka baru. Kota Mataram, misalnya, hanya 10 anggota periode sebelumnya yang tersisa.
Pesimisme publik tak melulu
karena mereka wajah baru, tapi juga karena mereka terpilih pada Pemilu legislatif
berkualitas “murahan”. Banyak pihak menilai, pemilihan legislatif tahun ini sarat
kecurangan. Dari pelanggaran administrasi hingga transaksi dan manipulasi
perhitungan suara, yang melibatkan para calo suara, pemilih, dan pelaksana
pemilu. Hasil pemantauan politik uang Indonesia
Corruption Watch (ICW) pada Pileg lalu, di 15 provinsi, termasuk di NTB,
menemukan bahwa pelaku politik uang adalah caleg semua tingkatan, baik provinsi,
kabupaten/kota, DPR RI dan calon anggota DPD RI.
Memang benar, kontestasi pemilihan
anggota legislatif amat ketat. Di NTB, kontestan pemilihan anggota legislatif tingkat
kabupaten/kota masing-masing sebanyak 300 hingga 600 orang, memperebutkan 25
hingga 45 kursi. Kondisi ini mendorong para kandidat menempuh jalan pintas:
membayar kepala rakyat dengan uang puluhan ribu atau rayuan manis janji, plus ongkos politik yang tinggi. Tapi
itu tak lantas melegalkan cara curang, murahan, dan tak etis.
Untuk mendapat jatah kursi, para
caleg rela menebusnya dengan dana bertumpuk. Hasil riset Lembaga Pengkajian
Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menjelaskan, agar
berpotensi besar menang, seorang caleg DPR RI harus mengeluarkan dana sekitar
1,18 miliar rupiah hingga 4,6 miliar rupiah. Sedangkan caleg DPRD Provinsi
harus menyiapkan modal sekitar 481 juta rupiah hingga 1,55 miliar rupiah.
Adapun caleg DPRD Kabupaten/Kota harus merogoh kocek sekitar 350 juta rupiah
hingga 500 juta rupiah.
Angka pengeluaran biaya politik ini sangat mahal, meskipun dari hasil riset LPEM UI tersebut masih dalam kategori wajar. Sebab, jika diasumsikan belanja politik anggota DPRD Provinsi NTB pada Pemilu bulan April lalu berkisar rata-rata 1,016 miliar rupiah (mengambil titik tengah dari belanja caleg DPRD Provinsi di atas), ini setara dengan pengeluaran sekitar 3.526 orang miskin di NTB untuk satu bulan (BPS: Garis Kemiskinan Provinsi NTB per Maret 2014 sebesar 287.987 rupiah). Artinya, pengeluaran belanja politik 65 anggota DPRD Provinsi NTB terpilih pada Pemilu lalu, setidak-tidaknya setara dengan pengeluaran 229.315 penduduk miskin NTB, atau 27,9 persen dari total penduduk miskin. Fantastis. Belum lagi jika ditotal dengan belanja politik ratusan caleg yang tak terpilih dan caleg DPRD Kabupaten/Kota.
Bandingkan dengan total gaji dan
tunjangan yang diterima. Berdasarkan hasil tracking
FITRA NTB tahun 2013 lalu, pendapatan minimal anggota DPRD tingkat
kabupaten/kota berkisar antara 304 juta rupiah hingga 479 juta rupiah. Atau
selama lima tahun menjabat, seorang anggota DPRD kabupaten/kota akan menerima
gaji dan tunjangan setidak-tidaknya sekitar 1,52 miliar rupiah hingga 2,395
miliar rupiah. Pendapatan anggota DPRD Provinsi sudah tentu lebih tinggi lagi.
Di satu sisi, terlihat tidak elok
bagi rakyat kecil menghitung-hitung uang yang keluar dan masuk ke kantong para caleg di NTB. Toh, tak akan
mengenyangkan perut lapar kaum miskin dan mengembalikan senyum anak-anak penderita
gizi buruk. Dan hal yang manusiawi bagi setiap orang untuk mencari laba atas
setiap rupiah yang diinvestasikan, kecuali bagi manusia luar biasa, yaitu
manusia setengah dewa (meminjam judul lagu Iwan Fals).
Tapi kita patut miris dengan
potret belanja politik para caleg yang mahal plus derasnya fulus yang akan diterima dari APBD. Sebab, mereka tak lain
dari “tangan Tuhan” yang akan menentukan nasib setiap orang di NTB. Kita berharap,
semua anggota DPRD, baik tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dilantik
pada Agustus ini tak tersandera tangan dan pikirannya untuk sekedar memburu
rente selama lima tahun mendatang. Sebab, ada sekitar 5,4 juta pasang mata siap
mengawasi. Akhirnya, tak ada kata yang paling manis untuk diucapkan selain
ucapan: Selamat menjalankan amanah kami.