Pernah membaca
advertorial di Harian Lombok Post[1]
berjudul: Setelah PON Sukses, Embarkasi
Lancar, Jalan Mantap, Apalagi? Jika boleh saya simpulkan, advertorial yang
menampilkan foto Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTB, Dr.
Rosyadi Sayuti tersebut setidak-tidaknya ingin meyampaikan betapa heroiknya
semangat TGB dalam menumbuhkan kebanggaan masyarakat NTB di tingkat lokal
maupun nasional.
Tiga capaian yang
menjadi focus advertorial yang dimuat harian tersebut, yaitu perolehan medali
pada PON Riau beberapa waktu lalu yang melampaui target. Kedua, keberhasilan
operasi embarkasi haji di BIL. Terakhir, infrastruktur jalan provinsi yang
dikatakan telah mengalami peningkatan dari sebelumnya. Ketiganya dibumbui
ceritera-ceritera yang mengesankan.
Dan coba perhatikan
kata-kata terakhir dari judul tulisan tersebut: Apa Lagi?. Dengan menggunakan kalimat tanya seperti itu seolah tim
penyusun advertorial (Bappeda?) ingin membuktikan kepada khalayak bahwa TGB
telah berhasil memberikan kepuasan terhadap masyarakat (dalam kaidah ilmu nahwu: littaukiidi – untuk penegasan). Lalu yang kedua, secara tersirat
pemerintah ingin mengatakan kepada pengritiknya: “Kami berhasil dan telah
melakukan hal-hal yang membanggakan,”.
Tulisan serupa tidak
hanya muncul di harian Lombok Post, tetapi juga Harian Suara NTB[2],
salah satu harian lokal dengan oplah besar selain Lombok Post. Tulisan tersebut
muncul pada hari Senin-Selasa (8-9/10) di LP, dan Senin (-Selasa?) (15/10) pada
Harian SN. Selang sehari, advertorial berjudul: Jalan Mulus yang Lain Terurus
muncul di kedua harian tersebut pada halaman pertama. Berikutnya pada hari Jum’at
(11/10), di dua harian tersebut, advertorial ketiga dimuat, dengan judul: Dulu
Sakit Hati, Kini Dipuji.
Demokrat
mendompleng?
Namun sangat disayangkan,
partai Demokrat yang dipimpin TGB secara mengejutkan disebut-sebut sebagai factor
keberhasilan meraih capaian membanggakan itu dalam advertorial tersebut. Coba
perhatikan judul sambungannya: Ada
Kaitan TGB sebagai Ketua Demokrat[3].
Bahkan secara eksplisit pada paragraf terakhir sebagai penutup tulisan ini, satu
komentar panjang TGB, saya kira berpotensi mencederai rasa keadilan sebagian
masyarakat di daerah ini. Coba simak komentar TGB; menjawab pertanyaan, apakah
keberhasilannya ada kaitan dengan kepindahannya ke Partai Demokrat dan menjadi
Ketua DPD PD NTB: “Saya kira ya, meski sulit juga kita buktikan. Dan secara
pribadi ketika menerima tawaran teman-teman untuk memimpin PD NTB, niat saya
memang hanya itu, agar apa yang telah kita rencanakan dalam RPJMD mendapat
dukungan pusat. ……..”
Jika dilihat secara factual,
maka komentar TGB dan judul sambungan advertorial yang dimuat Senin dan Selasa
tersebut oleh sebagian pengamat bahkan orang awam sekali pun akan mengatakan
bahwa itu “sah-sah saja dan boleh jadi demikian”, meskipun itu debatable, sebagaimana TGB sendiri belum
yakin. Karena sejauh ini belum ada kajian secara ilmiah. Selain itu, logika
sederhana sebagai antithesa komentar TGB di atas adalah: “Saya tidak akan berhasil
seperti ini jika tidak memilih menjadi pragmatis dalam hal pilihan politik,”.
Namun yang menjadi
catatan substantif dalam tulisan pendek ini adalah hal yang sangat mendasar,
yaitu soal etis atau tidak etis. Dalam soal apa?
Advertorial yang dimuat
oleh kedua surat kabar tersebut adalah susunan tim dan dipesan oleh Bappeda
(ekskutif), yang nota bene untuk membayar biaya pemuatan advertorial tersebut
menggunakan uang rakyat (APBD), bukan dana dari Partai Demokrat. Akan tetapi,
secara gamblang kita bisa memerhatikan, bagaimana tim penyusun advertorial ini
berusaha menggiring opini public bahwa factor utama keberhasilan TGB adalah
Partai Demokrat. Atau secara tersirat, tulisan ini hendak mengatakan kepada
pembaca (public): “Jika NTB ingin maju maka pilihlah TGB kembali, karena TGB
adalah Ketua DPD Partai Demokrat NTB.”
Biaya untuk memasang advertorial
tersebut memang sangat kecil jika dibandingkan dengan total APBD NTB 2012,
yaitu sekitar Rp 14.500.000 (Data diolah oleh Fitra NTB) dari sekitar Rp 2,37
triliun. Ini menjadi sangat tidak etis ketika pelaksanaan Pemilihan Gubernur
NTB tinggal beberapa bulan saja.
Saya kira, alangkah eloknya,
jika pemerintah terus berkarya dengan membelanjakan APBD sebesar-besarnya untuk
rakyat, dan biarkan rakyat sendiri yang menilai, karena saya kira rakyat NTB
telah pandai memberikan penilaian kepada kinerja pemimpinnya dan elit-elit di
daerah. Selanjutnya, jangan sampai incumbent
memanfaatkan secuil pun bagian dari uang rakyat tersebut untuk kepentingan
kekuasaan, pribadi, maupun kelompok kepentingan tertentu, terutama menjelang
perhelatan pemilihan kepala daerah, misalnya mengambil bagian dari APBD untuk
membiayai dana kampanye keberhasilan pasangan kepala daerah secara massif,
perjalanan dinas yang meningkat, dan dana bantuan sosial (bansos) yang
meningkat pula secara signifikan.
Dalam hal ini, tentu
TGB akan dilematis, karena TGB secara personal bukan hanya seorang Gubernur
masyarakat NTB, melainkan juga Ketua dari anggota Partai Demokrat.
Akhirnya, saya pribadi
berharap tulisan ini bermanfaat. Lebih kurangnya saya mohon ma’af. Tabiik.