Madiana |
Pengelolaan keuangan daerah di
NTB mengalami permasalahan yang pelik. Kebijakan anggaran yang sejatinya
dihajatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, nampaknya masih jauh
panggang dari api. Beberapa persoalan yang masih mengintai kebijakan penganggaran
di daerah adalah; pertama, komitmen
pemerintah untuk mensejahterakan massa
rakyat masih setengah hati. Kedua,
terjadi pembajakan anggaran public oleh elit daerah. Ketiga, pemerintah daerah belum menjalankan UU KIP sebagai pintu
masuk bagi masyarakat untuk ikut mengawasi kebijakan anggaran.
Realisasi anggaran rendah, potret buruk kinerja birokrasi. Hingga
per 12 Desember 2012, rata-rata realisasi belanja APBD Kabupaten/Kota se-NTB TA
2012 baru mencapai 49% (DJKP, Kemenkeu).
Total belanja daerah Kabupaten/Kota se-NTB TA 2012 Rp 7,65 triliun. Dengan sisa
waktu yang sangat terbatas hingga akhir bulan ini (18 hari), adalah hal yang
sangat tidak mungkin untuk menghabiskan anggaran sisa sebesar Rp 3,6 triliun.
Maka, bukan rahasia umum, menjelang akhir tahun anggaran terjadi belanja
jor-joran tanpa kendali. Sementara itu,
realisasi belanja modal seluruh Kabupaten/Kota se-NTB tidak ada satupun yang
mencapai 50% dari total anggaran belanja modal. Berbeda halnya dengan belanja
pegawai. Rata-rata realisasi belanja pegawai per 12 Desember 2012 lalu telah
mencapai 60%. Ini membuktikan betapa buruknya kinerja aparatur pemerintah
daerah kita.
Kabupaten/Kota dengan realisasi
belanja daerah di atas 60% adalah Kabupaten Lombok Timur (66,97%), Kabupaten
Lombok Barat (65,13%), Kabupaten Dompu (65,01%), Kabupaten Sumbawa dan Kota
Mataram (61,7%). Sedangkan Kabupaten/Kota dengan realisasi Belanja Daerah di
bawah rata-rata provinsi adalah Kota Bima (11,4%), Kabupaten Lombok Utara
(22,9%), dan Kabupaten Bima (28%). Belanja modal di ketiga Kabupaten/Kota ini
pun tergolong paling rendah, masing-masing sebesar 8,4%, 14,6%, dan 22,6%.
Namun, khusus Kabupaten Lombok Utara sebenarnya realisasi belanja modalnya
lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Lombok Tengah (20,1%) dan Kabupaten
Sumbawa (20,9%). Padahal kedua kabupaten ini mampu merealisasikan anggaran
belanja di atas 50%, jauh di atas realisasi belanja KLU.
Pembajakan anggaran oleh elit daerah. Di tengah keterbatasan
keuangan daerah, alih-alih pemerintah daerah melakukan penghematan dan
merealokasi anggaran untuk membiayai program-program yang berkaitan dengan
kepentingan public luas, malah elit daerah mengambil keuntungan dan menjadikan
APBD sebagai bancakan. Ini tidak terlepas dari kondisi birokrasi kita yang
tertutup sehingga masyarakat tidak cukup ruang untuk melakukan pengawasan.
a. Belanja
Bantuan Sosial rentan penyelewengan
Belanja Bantuan
Sosial adalah jenis belanja yang paling rentan disalahgunakan dan diitambah
lagi dengan lemahnya pertanggungjawaban penggunaan bantuan. Bantuan cenderung
dibagi-bagikan kepada kelompok tertentu. Jika tidak diawasi, maka nasib uang
rakyat pada pos belanja TA 2013 mendatang, nasibnya tak akan jauh berbeda
dengan Bansos pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Pada kasus pemerintah
provinsi NTB, misalnya. Pada dua tahun anggaran, yaitu TA 2010 dan TA 2011,
terdapat 5 persoalan yang menjadi temuan BPK pada Belanja Bansos, yaitu:
1) Realisasi Bansos sebesar Rp 11,53 miliar tidak didukung
dokumen pengajuan yang lengkap.
2) Pemotongan
PPh Pasal 21 atas realisasi Bansos untuk Guru Tidak Tetap (GTT) dan Guru Tetap
Yayasan (GTY) TA 2010 sebesar Rp 1,78 miliar tidak sesuai ketentuan.
3) Realisasi
Belanja Bansos sebesar Rp 271,15 juta pada TA 2011 dan sebesar Rp Rp 51 juta
pada TA 2010 tidak diterima oleh pihak yang berhak.
4) Belanja
Bansos sebesar Rp 51,96 miliar tidak tepat sasaran.
5) Belanja
Bansos dan Bantuan Keuangan belum dipertanggungjawabkan masing-masing sebesar
Rp 146,95 miliar dan Rp 65,82 miliar.
Di samping itu, terdapat 4
temuan lain BPK sebagai berikut:
1) Realisasi
Belanja Bantuan Keuangan sebesar Rp 6,75 miliar tidak dengan persetujuan Kepala
daerah.
2) Pengajuan
permohonan bantuan oleh Parpol tidak didukung dengan persyaratan administrasi
yang sesuai ketentuan.
3) Format
LPJ penggunaan Bantuan keuangan untuk Parpol TA 2010 pada tujuh Parpol di NTB
tidak sesuai dengan Pemendagri No. 24 Tahun 2009.
4) Peruntukan
dan Pengelolaan Bantuan Keuangan yang bersifat Khusus pda Provinsi NTB tidak
ditetapkan melalui Petunjuk teknis/Pelaksananaan oleh Gubernur.
b. Belanja
daerah masih berorientasi kesejahteraan pejabat
Kebijakan
anggaran pemerintah daerah seharusnya dialokasikan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat. Namun, melihat tren proporsi belanja pegawai, belanja
modal, dan belanja barang jasa, tampak jelas ketimpangannya. Belanja pegawai
terus mengalami peningkatan signifikan setiap tahun. Sementara untuk dua jenis
belanja lainnya mengalami peningkatan fluktuatif. Yang paling disesalkan adalah
pengurangan belanja modal yang diproyeksikan menurun pada TA 2013 menjadi Rp
288 miliar. Padahal di satu sisi, Pendapatan daerah diproyeksikan mengalami
peningkatan.
Belanja Modal
adalah tumpuan akhir masyarakat untuk bisa merasakan langsung kehadiran
pemerintah daerah. Karena Belanja Barang dan Jasa lebih banyak dinikmati oleh pejabat
daerah. Dari hasil tracking terhadap 15 SKPD/Badan Pemerintah Provinsi NTB - diambil
secara acak (Sekretariat Daerah,
Sekretariat DPRD, Inspektorat, Bappeda, Dikpora, Dikes, Dinas PU, Dinas
Perindag, Dinas Pertanian dan THP, Dinas Budpar, Dispenda, BKP, BKD, dan Biro
Keuangan) pada RAPBD
2013, FITRA NTB menemukan bahwa sekitar Rp 16,75 miliar dialokasikan untuk
Belanja Makanan dan Minuman; dan sekitar Rp 52,80 miliar dihabiskan untuk
perjalanan dinas. Jika, dirata-ratakan, maka setiap hari anggaran yang
dihabiskan untuk makan minum dan belanja perjalanan dinas oleh pejabat daerah
Provinsi NTB masing-masing adalah Rp 45,9 juta/hari dan Rp 144,7 juta/hari.
Sementara itu, sebagian besar kabupaten/kota di NTB menghabiskan belanja
daerah lebih dari 50% untuk membayar “ongkos tukang”. Kabupaten Lombok Tengah
adalah kabupaten dengan pengeluaran belanja pegawai tertinggi yang hampir
mencapai 70% dari total belanja daerah. Meskipun ongkos tukang tinggi namun
sayangnya tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan public. Alhasil,
program-program prioritas daerah untuk pengentasan kesenjangan social dan
ekonomi hanya mendapat anggaran sisa dalam jumlah yang sangat kecil. Namun kita masih bisa bernafas lega melihat alokasi
belanja modal yang cukup tinggi pada kabupaten/kota dengan belanja pegawai di
bawah rata-rata provinsi (54%), seperti di Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Lombok
Utara, dan Kota Mataram. belanja modal di 3 kabupaten/kota tersebut
masing-masing adalah 36%, 31%, dan 20%.
Akibat tingginya belanja yang telah
ditetapkan penggunaannya, ruang fiskal menjadi semakin menurun. Penurunan Ruang Fiskal daerah menunjukkan
bahwa kemampuan dan fleksibilitas daerah untuk menggunakan anggaran mereka
untuk kebutuhan belanja yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan riil mereka
menjadi semakin sempit. Empat daerah dengan ruang fiscal di bawah 30% adalah
Kabupaten Lombok Tengah (20%), Kota Bima (24%), Kabupaten Bima (25%), dan
Kabupaten Lombok Barat (27%).
Badan public
(Pemerintah daerah) sama sekali belum memberikan pelayanan informasi yang memadai
sesuai dengan yang diatur dalam UU KIP. Nyatanya, setelah 4 tahun diundangkan, UU KIP belum
juga dapat diterima sebagai sebuah consensus bersama oleh semua pihak, terutama
pemerintah daerah. Sebab sejauh ini, hampir di sebagian besar daerah di NTB belum
juga dijalankan, sehingga masyarakat masih tak mampu “masuk lebih dalam” untuk
ikut terlibat mengawasi kebijakan pembangunan pemerintah daerah. Padahal
masyarakat berharap besar bahwa dengan UU KIP, masyarakat dapat ikut terlibat
secara aktif merumuskan dan mengawasi jalannya pembangunan daerah yang
dampaknya akan dirasakan masyarakat sendiri.
Adalah sulit kita berharap; kualitas pelayanan public
yang prima serta kesejahteraan hidup masyarakat NTB dapat tercapai pada masa-masa
mendatang jika pemerintah daerah tidak segera berbenah dan terbuka; dan
masyarakat sipil hendaknya dilibatkan secara aktif dalam setiap siklus
penganggaran daerah.
Mataram, 31 Desember 2012
ttd
M a d i a n a
Divisi Riset Kebijakan
dan Analisis Anggaran
yth Bapak/Ibu pengelola, dimana saya bisa dapatkan copy LHP interim BPK yang mungkin menjadi dasar posting Bapak/Ibu. Sepertinya menarik untuk bahan diskusi kami dalam membangun NTB kedepan. Trims.
BalasHapusyth bapak/ibu pengelola .saya ingin meneliti evaluasi penganggaran daerah dengan analisis standar belanja (ASB) sebagai tugas akhir s1 sya,
BalasHapussaya sangat berharap mendapat referensi dari bapak ibu saudar